Trust Banten - Hatong yang sering dipergunakan masyarakat di sekitar Gunung Pulosari, Kabupaten Pandeglang terbuat dari tanduk kerbau. Hatong itu diperunakan warga disaat mereka berburu babi hutan di sekitar gunung ini.
Dari buku Music in Java yang disusun J Kunts tahun 1949, terdapat jenis Hatong berbeda dari Pulosari. Bagaimana bentuk dan cara memainkannya, berikut ini adalah petikan dari buku tersebut seperti dikutip dari IG @boimbaelah.
Di wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten masyarakat mengenal dan mempunyai tiga jenis Hatong berbeda yang biasa digunakan disaat mereka berburu. Hatong ini terbuat dari bambu tepus, yang biasa digunakan saat melakukan perburuan.
Baca Juga: Green Financing, Cara Mudah Miliki Properti di NavaPark dengan DP dan KPR Nol Persen
Ada tiga bentuk Hatong yang biasa digunakan. Ada yang terbuat dari satu buluh bambu diberi nama Hatong Ijen, atau Hatong Honghong. Hatong jenis ini biasanya digunakan oleh orang yang akan menunjukan arah perburuan. Dua jenis lainnya, yaitu Hatong Sekaran dengan dua buluh bambu dan Hatong Pangajak yang terdiri dari tiga buluh bambu, yang biasanya ditiup sendiri oleh para pemburu.
Di luar wilayah Sunda, bambu yang digunakan sebagai alat musik Hatong seperti ini sudah jarang ditemukan. Sejauh yang diketahui, tempat-tempat lain yang pernah menggunakan alat sejenis ini dapat ditemukan di Flores, Timor dan di bagian timur pegunungan tengah dan pantai selatan New Guinea.
Instrumen ini diduga berasal dari Asia Tengah, yang telah menyebar ke sebagian Austronesia dan Amerika Selatan selama periode Han (206 SM-220 M) sebagai akibat dari migrasi atau lalu lintas komersial. Kemungkinan kata Hatong berasal dari
Cina, sebuah nama terompet yang biasa digunakan saat pemakaman.
Baca Juga: Jual Beli Kursi PPDB Masih Terjadi, Modusnya dari Sertifikat Prestasi hingga Manipulasi KK
Alat musik lain yang disebut Hatong, ada pula yang disebut Hatong Manuk, yang bentuknya menyerupai seruling dengan celah bambu yang pendek. Di Jerman alat ini disebut Kernspaltflöte atau ada pula yang menyebutnya seruling cincin, yang di Jerman disebut Bandflöte. Kedua alat ini digunakan sebagai alat untuk memanggil burung.
Bentuk seruling endblown seperti ini biasanya bernada pelog dan slendro, seperti yang dikenal di wilayah Sunda. Ada enam perhentian atau stops seperti di Jogja, di Jawa Barat juga ada suling degung yang hanya punya empat perhentian. Tapi ada juga yang memiliki skala yang khas. Biasanya perhentian kedua dari atas selalu jauh lebih besar dibandingkan tiga perhentian lainnya.
Di Batavia dan Banten Selatan, setidaknya terdapat empat bentuk seruling yang berbeda. Yang pertama, bambu flûte à bec, dengan enam atau tujuh lubang jari, dan panjang sekitar 30 cm. Seruling seperti ini di Sumatera disebut jenis bangsing. Kedua bamboo transverse flute yang merupakan bagian dari orkestra kecil gambang kromong. Seruling ini ada tiga jenis yang berbeda. Satu dengan enam stops, satu dengan empat stops dan satu lagi dengan dua stops.
Baca Juga: Ratusan Atlet Pencak Silat Unjuk Gigi di Popda XI Banten
Ketiga ada juga seruling Kerbflöte, yaitu seruling yang corongnya dibentuk hanya dengan lekukan di dinding tabung. Seruling ni semuanya terbuka di bagian bawah, dan memiliki lima perhentian. Nama aslinya adalah Calintu. Keempat seruling slit stop. Di Jerman disebut Spaltflöte atau disebut juga èlèt, dengan empat, lima atau enam pemberhentian.
Calintu adalah salah satu alat musik khas Baduy Dalam, selain Angklung, Kendo dan Suling. Calintu diciptakan untuk dipasang di ladang. Tujuannya adalah untuk menghibur padi yang baru ditanam hingga menjelang panen. Menurut J Kuhn, kata Hatong sendiri berasal dari serapan kata China untuk nama sebuah terompet yang biasa digunakan saat prosesi pemakaman di Tiongkok.
Sedangkan alat musiknya sudah dikenal di Asia Tengah dan telah menyebar ke sebagian Austronesia dan Amerika Selatan sebagai akibat dari migrasi atau lalu lintas komersial. Hal ini diperkuat dengan beberapa pendapat para peneliti musik tradisional yang mengungkapkan sejarah music bambu menggunakan literatur Kropak 410 dan Pustaka Nagara Kretabhumi Parwa I Sarga 2 (1694).
Baca Juga: Rekomendasi Kuliner di Tangerang: Sering Dikunjungi Artis, Wajib Coba Sop Mak Garang
Kisahnya berawal dari pernikahan Prabu Jayadewata (Siliwangi Pajajaran) yang menikahi putri Ki Ampu Dawang, yang menjadi bagian dari rombongan Laksamana Cheng Ho. Ki Ampu Dawang adalah seorang duta dari Cina untuk urusan dagang dan seni budaya.
Dia membawa bambu dari Cina untuk ditanam di wilayah Asia, juga membawa alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Alat musik tiup ini kemudian oleh Baladewa, seorang panglima perang kerajaan Japura (wilayah pesisir Majalengka) tahun 1434, mengenalkan alat musik di kalangan keraton dan menjadi seni pertunjukan kaum bangsawan keraton, dipentaskan terutama saat acara-acara sakral, penyambutan tamu agung dan lain-lain.
Seiring waktu, kemudian alat music ini menyebar di kalangan masyarakat bawah. Tapi karena tidak adanya pewarisan kesenian maka eksistensi alat musik tersebut hilang dengan sendirinya. Tidak diceritakan bagaimana proses transformasi alat ini sehingga menjadi salah satu alat kelengkapan berburu hewan.***