Kalimat "Hop Maung!" dan Cerita Perjalanan Sech Mansoer Cikadueun Berdasarkan Koran Belanda 

26 April 2024, 20:39 WIB
Ilustrasi harimau di Banten Selatan. /Tangkap layar IG @boimbaelah/

 

Trust Banten - Bagi urang Pandelang kalimat "Hop Maung!” begitu sangat familiar. Kalimat ini mengingatkan pada sebuah catatan yang pernah dimuat di Koran Avondpost terbitan 26 Pebruari 1939.

Catatan yang dibuat oleh Pr Bode ini memang agak berbeda dari tulisan-tulisan lainnya yang juga mengangkat tema yang sama. Di konten terdahulu, pernah dimuat peristiwa yang terjadi pasca letusan Krakatau 1883.

Dua tahun pasca peristiwa itu, penduduk Banten Selatan pernah dilanda wabah serangan harimau. Tercatat hampir sekitar 500 orang menjadi korban serangan harimau. Di Kabupaten Caringin saja, tercatat sekitar 60 orang menjadi korban serangannya.

Baca Juga: Omsetnya Ga Main-main, Empat Oprator Judi Slot Diciduk Polda Metro Jaya

Beberapa catatan orang-orang Eropa menyebut, peristiwa itu dengan sebutan Tiger Plaque. Dari peristiwa ini munculah cerita-cerita yang dimuat di beberapa media cetak Eropa, bahkan pernah menjadi catatan-catatan masa kolonial, seperti tulisan Pr Bode dalam koran Avondpost.

Dia menulis berdasarkan sudut pandangnya yang agak berbeda dari tulisan lain yang mengangkat tema sejenis. Pr Bode memberi judul tulisanya "Dua Orang Banten, Saat Bertahan Dari Serangan Harimau" dengan sub judul "Tolong Jangan Membuat Masalah Denganku, Aku Adalah Keturunan Sech Mansoer."

Akun IG @boimbaelah menyebut, Pr Bode menulis, ketika orang Banten masuk ke wilayah yang diduga sarang harimau, mereka selalu mengucapkan semacam doa seraya berkata, "Wahai harimau, jangan ganggu aku. Aku keturunan Kijai Sech Mansoer!”.

Baca Juga: Mau Nyalon Bupati Pandeglang, Iing Sowan ke Sejumlah Ulama

Doa ini dalam bahasa Banten disebut Sisinggah. Banyak orang yang sangat percaya akan keampuhan doa ini, meskipun mereka bukan keturunan Banten, tapi saat mereka mengucapkan doa ini, maka dipercaya akan terhindar dari serangan harimau.

Oleh karena itu, siapa pun yang datang ke Banten, mereka tidak sampai melupakan tempat di mana Kijai Sech Mansoer dimakamkan, mereka mengunjungi dan menziarahi makamnya. Makamnya terletak di Tjikadoeweun, Kabupaten Pandeglang. Sejak itu, makamnya sering dikunjungi ratusan umat Islam setiap tahunnya, termasuk mereka yang berasal jauh dari luar Banten.

Menurut berita itu, pada Tahun 1498 Sech Mansur ditugaskan Maulana Hassanoedin, Sultan Banten pertama untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk Banten Selatan. Menurut tradisi, yang dipercaya semua keturunan Banten, doa ini untuk menghindari serangan harimau walaupun warga berada di sarangnya.

Baca Juga: Kolaborasi deEX Feat. Ato Angkasa: Dream Comes True untuk Indonesia

Menurut kisah, dalam perjalanannya tibalah Sech Mansoer di hutan Oedjoeng Koelon. Dia bertemu dengan harimau yang sangat besar. Harimau tersebut kakinya terjepit di antara batu karang yang besar.

Harimau itu mengaum terus menerus karena kesakitan, cengkeraman batu karang yang kuat menahan kakinya. Sech Mansoer mendekati harimau yang kesakitan itu, ia berniat untuk melepaskan kakinya.

Konon katanya Sech Mansoer punya kemampuan berkomunikasi dengan hewan. Sang raja hutam pun pun berkata dan berjanji ke sang Kijai, bahwa dia tidak akan pernah menyerangnya, termasuk anak keturunannya jika Sech Mansoer mau menolongnya.

Baca Juga: POPDA XI Banten Pertandingkan 25 Cabang Olahraga

Sang harimau bahkan berjanji akan menyampaikan janjinya ini ke pengikutnya, agar mereka juga tidak mengganggu dan menyakiti keturunan Sech Mansur. Namun untuk menghindari kesalahan, sang harimau meminta sarat agar semua keturunan Sech Mansur selalu mengucapkan Sisinggah saat bertemu dengan bangsa harimau.

Sech Mansoer menyetujuinya, harimau itu pun kemudian dibebaskan. Dengan tertatih-tatih ia menghampiri sang Kijai. Sang harimau menyampaikan keheranannya karena sang kiyai bisa mengerti bahasa harimau.

Harimau itu kini menceritakan, bahwa sebenarnya dia adalah Putra Bungsu Raja Padjadjaran, yang bernama Pangeran Langlang Boewana. Karena ia takut masuk Islam, ia kemudian menjadi harimau. Menurut kepercayaan populer saat itu, harimau-harimau inilah yang menguasai hutan Oedjoeng Koelon hingga setengah abad lalu.

Sech Mansoer meninggal dunia, tak lama sebelum terjadinya wabah harimau pada tahun 1886. Wabah serangan harimau yang melanda seluruh Banten Selatan dan merenggut lebih dari 500 orang. Harimau-harimau itu tak segan menyerang manusia meski siang hari bolong.

Baca Juga: Aliansi Masyarakat Layangkan Surat Protes Pameran Hewan Peliharaan di Mal Living World Alam Sutera

Setiap sesepuh orang Banten pasti tahu tentang wabah harimau ini. Menurut cerita, penyebab wabah ini adalah dendam sang harimau, yang dipicu oleh sikap Asisten Residen Menes. Saat itu Asisten Residen Menes sedang melakukan perjalanan ke Distrik Tjibalioeng.

Di tengah perjalanan ia mengambil dan membawa seekor anak harimau. Seiring waktu ternyata harimau itu menjadi berbahaya bagi lingkungannya, sehingga asisten residen menyuruh anaknya, untuk menenggelamkan kandang dan anak harimau tersebut ke dalam kolam miliknya.

Hal inilah yang membuat kemarahan para harimau ini. Sampai saat ini masyarakat Banten masih mempercayai bahwa sang harimau itu adalah Pangeran Langlang Boewana.

Pertanyaan yang sering muncul, janji harimau yang tidak akan menyerang keturunan orang Banten kenapa dilanggar, kenapa masih banyak orang yang diserang atau dibunuh, penjelasannya adalah karena para korban lupa mengucapkan Sisinggah.***

Editor: Rukman Nurhalim Mamora

Tags

Terkini

Terpopuler