Menelusuri Peradaban di Pulau Panaitan Berdasarkan Catatan Pelaut Inggris, Sir Joseph Banks

- 19 April 2024, 12:18 WIB
Sir Joseph Banks
Sir Joseph Banks /Tangkap layar IG @boimbaelah/

Trust Banten - Di dalam jurnalnya, Sir Joseph Banks bersama seorang petualang berkebangsaan Inggris, James Cock berlabuh di Pulau Panaitan. Berdasarkan catatannya, ia berkesimpulan bahwa di Pulau Panaitan pernah ada pemukiman yang disebut kota.

Kota ini kelak oleh pelaut berikutnya ditemukan bahwa tempat ini dan seluruh penghuninya telah hilang akibat letusan Gunung Krakatau. Bagaimana kisahnya, berikut catatan hariannya yang dikutip dari akun IG @boimbaelah.

Saya yakin, tidak ada seorang pun di kapal yang memberikan bantuan untuk mengangkat jangkar, jadi semua orang benar-benar kelelahan karena udara tidak sehat di tempat ini. Kami telah menguburkan delapan orang di sini.

Baca Juga: Hasil Babak Pertama Indonesia U23 vs Australia U23 di Piala Asia U23, Ernando Pahlawan, Skor...

Namun secara umum, kondisi kesehatan para kru lebih baik dibandingkan dua minggu sebelumnya. (Pada saat berlayar, jumlah orang sakit di kapal berjumlah empat puluh atau lebih, dan selebihnya berada dalam kondisi lemah, kecuali pembuat layar, seorang lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Padahal pria ini adalah seorang pemabuk.

Ketika kami sudah mulai berlayar, ternyata ada seorang laki-laki yang tertinggal dan masih berada di darat. Sebuah perahu dikirim untuk menjemputnya. Hal ini membuat kami begitu lama menunda pelayaran sehingga kami benar-benar kehilangan angin laut. Terpaksa harus menempuh beberapa mil dari tempat kami memasang jangkar sebelumnya.

Kami tetap bekerja sepanjang malam dan hari ini kami berlabuh dipulau dataran tinggi, yang disebut Cracatoa (Krakatau). Dalam keterangan orang-orang India, pulau ini disebut juga Pulo Racatta (Rakata).

Baca Juga: Profil Pyo Seung Ju, Outside Hitter Baru Red Sparks, Pengganti Sepadan Kapten Lee So Young?

Di tempat ini, saya sangat tersiksa dengan masalah nyamuk, sejak kami meninggalkan Batavia. Nyamuk-nyamuk ini bukannya berkurang melainkan semakin bertambah banyak. Namun hari ini, misteri itu terkuak, karena saat naik ke atas kapal, Dr. Solander kebetulan berdiri di dekat tong sampah.

Dia menemukan dan mengamati jumlah jentik-jentik yang tak terhingga di dalam air, dan setelah matahari terbenam, mulai munculah nyamuk-nyamuk yang sangat efektif membunuh crew kami dengan sangat cepat.

Di luar kapal, kami melihat banyak rumah dan lahan pertanian di pulau ini, sehingga kapal kami memilih untuk singgah di sini untuk mendapatkan air minun segar. Setelah makan malam, kami berlabuh di Pulau Panaitan (Prince's Island) dan kami pergi ke daratannya. Orang-orang yang menemui kami segera membawa kami menemui seorang pria yang mereka sebut raja mereka. Setelah saling sapa dan menyampaikan beberapa pujian, akhirnya kami melanjutkan dengan urusan bisnis jual beli dengan penduduk di sini.

Baca Juga: Tuan Rumah Liga 3 Nasional, Stadion Benteng Reborn Mulai Bebenah

1 Januari 1771
Kami melakukan transaksi beberapa barang yang kami inginkan dan ternyata mereka miliki. Hanya harga penyu yang tidak kami sepakati. Namun hal ini tidak membuat kami patah semangat, karena kami yakin esok pagi kami akan mendapatkannya dengan harga sesuai dengan yang kami inginkan.

Akhirnya kami berjalan agak menjauh dari pantai dan orangorang itu bubar dan berpencar. Namun, saat kami hendak meninggalkan pulau dan kembali ke sampan. Beberapa orang dari mereka menghampiri kami, akhirnya kami membeli tiga ekor penyu tapi dengan janji bahwa kami tidak boleh memberi tahu rajanya.

11 Januari 1771
Pelayanku, Sander, yang aku pekerjakan sejak dari Batavia, mengetahui bahwa orang-orang di pulau ini mempunyai sebuah kota di pantai barat pulaunya, dan saya memutuskan untuk mengunjunginya esok hari. Meski penduduk di sana sama sekali keberatan dan tidak ingin dikunjungi.

Aku merahasiakan niatku ke mereka. Di pagi hari saya berangkat, ditemani oleh letnan dua kami. Kemudian kami menyusuri pantai, dan saat kami bertemu orang-orang di pulau ini, kami memberi tahu bahwa kami sedang mencari tanaman, yang menjadi tujuan utama kami.

Baca Juga: JANGAN LEWATKAN! Laga Indonesia U23 vs Australia U23 di Piala Asia U23, Live di...

Sekitar dua jam, akhirnya kami sampai di suatu tempat yang terdapat empat atau lima rumah. Di sini kami bertemu dengan seorang lelaki tua, dan akupun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya tentang adanya pemukiman di sini.

Dia bilang jaraknya sangat jauh, tetapi kami tidak terlalu terpengaruh dengan informasinya. Aku pun melanjutkan perjalanan, meski beberapa kali terkadang membawa kami keluar dari jalur yang ditunjukan, kami tetap yakin pada tujuan kami.

Dan akhirnya kami segera melihat objek yang diinginkan. Lelaki tua itu kemudian mengajak kami, dan menemani kami berkeliling melihat rumah-rumah, yang jumlahnya hampir 400 rumah. Pemukiman di sini terbagi menjadi kota lama dan kota baru, yang dipisahkan oleh sungai berair payau.

Di kota tua kami bertemu dengan beberapa penduduk, salah satunya seorang kepala dusun yang membawa kami melintasi sungai, dengan dua kano yang sangat kecil. Untuk mencegah agar kano ini tidak terlalu berat dengan barang yang kami bawa, akhirnya kami meletakkannya di samping satu sama lain, dan diikat untuk menyatukannya.

Dengan cara ini kami bisa dengan aman menyusuri sungai ini, dan akhirnya bisa tiba di kota tersebut. Nampak terlihat deretan rumah yang kami temukan, di antara deretan rumah tersebut terdapat rumah raja dan tempat berkumpulnya semua bangsawan di pulau ini.

Baca Juga: Pj Bupati Tangerang Dorong Guru PAUD Terus Tingkatkan Kompetensi

Setelah kami meminta izin akhirnya penduduk mengizinkan kami untuk melihat setiap sudut pemukiman ini dengan leluasa, meski sebagian besar penduduknya tutup mulut tidak mau menjelaskan apa pun.

Di malam hari, kami kembali pergi ke pulau itu untuk menyampaikan kepada penduduk bahwa telah terjadi pencurian di atas kapal kami, yaitu sebuah kapak milik awak kapal. Ini adalah kasus pencurian pertama yang kami pikir tidak pantas untuk dibiarkan. Jadi kami segera mengajukan permohonan kepada raja, untuk mencari pencurinya. Dan rajapun akhirnya berjanji bahwa barang tersebut akan dikembalikan pada pagi hari.

12 Januari 1771
Akhirnya Kapak itu dikembalikan sesuai dengan janji. Karena pencurinya ketakutan akan dihukum, maka pada malam hari dia membawanya untuk dikembalikan. Hari ini, aku kembali dilanda demam sejak keluar dari Kota Batavia, mungkin ini disebabkan karena aku sering terpapar terik matahari saat berdagang dengan penduduk pribumi.

13 Januari 1771
Pada malam hari, setelah aku sembuh dari demam, aku pergi ke darat menemui raja, kepadanya aku memberikan hadiah-hadiah kecil, yang semuanya hanya bernilai lima shilling. Aku membawa dua lembar kertas, serta barang-barang lainnya.

Dan ia pun menerimanya dengan penuh syukur. Kami banyak mengobrol, ia sering bertanya mengapa kapal-kapal Inggris tidak banyak yang mendarat di sini, seperti yang biasa mereka lakukan di pulau-pulau lain.

Saya katakan kepadanya, jarangnya kapal-kapal berlabuh di sini karena di pulau ini tidak punya cukup stok penyu untuk dijual. Akhirnya aku pun menasihatinya untuk mencoba beternak sapi, domba, dan kerbau. Namun saran tersebut tampaknya tidak terlalu dia setujui.

Baca Juga: Proliga 2024: Skuad Jakarta Livin Mandiri Penuh Pemain Muda, Tapi Bintang Asing Bukan Sosok Sembarangan

Princes’s Island, demikian sebutan orang Inggris, dalam bahasa Melayu disebut Pulo Selan, dan dalam bahasa penduduk lokal disebut Pulo Panaitan. Pulau ini adalah sebuah pulau kecil yang terletak di pintu masuk barat Selat Sunda.

Di pulau ini terdapat banyak pohon kayu tapi tidak punya gunung yang cukup tinggi di atasnya, meski ada beberapa bukit di sudut-sudut pulaunya. Orang Inggris menyebut bukit kecil tersebut Pike.

Konon katanya pulau ini dulunya sering dikunjungi oleh kapal-kapal dari India dan berbagai negara lainnya sebagai tempat persinggahan. Namun akhirnya pulau ini dilupakan para penjelajah, terutama kapal Inggris, karena buruknya perairan di sini.

Akhirnya mereka sering berhenti di pulau sebelah Utara lainnya, yaitu sebuah pulau
kecil di ujung barat laut. Pulau kecil tersebut terletak di pesisir Sumatera di pintu masuk selat Sunda, atau yang disebut di Teluk Baru (New Bay).

Jaraknya hanya beberapa mil dari Pulau Panaitan, namun kedua pulau tersebut tidak dapat menyediakan air tawar dalam jumlah besar. Air tawar yang bisa diambil letaknya jauh berada di pedalaman pulau. Jika pun ada air yang bisa dibawa hanyalah air payau. Oleh karena itu pulau ini tidak menjadi daya tarik para pelaut.

Selain itu pulau ini hanya menghasilkan penyu dalam jumlah kecil, dan pasokannya tidak besar, sehingga tidak menarik para pedagang untuk berlabuh di pulau ini, karena harus puas dengan jumlah yang kecil, seperti yang kami alami saat membeli. Itu pun dengan harga yang sangat bervariasi, sesuai dengan selera penduduk pulau ini.

Baca Juga: Proliga Auto Meriah! Inilah Profil Dua Bidadari Voli Indonesia yang Kabarnya Gabung Jakarta Livin Mandiri

Penyu yang ada di pulau ini dagingnya berwarna hijau, tidak berlemak dan tidak memiliki rasa yang enak, seperti penyu-penyu lain yang ditemukan di sebagian besar pulau-pulau lainnya. Saya berpendapat, mungkin karena hal ini disebabkan sebagian besar penyu dijual merupakan hasil peliharaan.

Mereka memeliharanya dengan waktu yang sangat lama di perairan payau dan tidak diberi makanan. Meskipun demikian, unggasnya lumayan murah. Mereka juga mempunyai banyak peliharaan monyet dan rusa kecil (Moschus pygmaeus). Yang terbesar tidak sebesar domba dan jenis rusa lainnya, mereka menyebutnya manchack (mancak), kira-kira seukuran domba.

Penduduknya adalah orang Jawa, yang rajanya tunduk pada Sultan Banten, dari siapa mereka menerima perintah dan kepada siapa mereka mungkin membayar upeti. Tapi mengenai hal itu saya tidak yakin.

Saya yakin, adat istiadat mereka sangat mirip dengan adat istiadat orang India di Batavia, hanya saja mereka tampak lebih cemburuan pada perempuan mereka, sehingga saya tidak pernah melihat satu pun perempuan selama kami tinggal. Perempuan-perempuan di pulau ini sangat cepat melarikan diri menyembunyikan dirinya di hutan.

Agama mereka adalah Mahometanisme (Islam), tapi saya yakin mereka tidak punya masjid di pulau itu. Namun, mereka sangat ketat dalam menjalankan puasa mereka (sama seperti Ramadhan di Turki), yang kebetulan kami datangi.

Tak seorang pun mau menyentuh makanan atau bahkan mengunyah sirih sampai matahari terbenam. Makanannya hampir sama dengan orang Indian Batavia, yang ditambahkan hanya kacang Palem Cycas circinalis, yang sering saya temukan di pesisir New Holland.

Saat beberapa penumpang kami jatuh sakit, akibat keracunan daging babi yang kami santap. Mereka menawarkan pengobatan dengan metode yang biasa mereka gunakan, mereka mempersiapkan kacang untuk menghilangkan sifat-sifat buruk racunnya.

Baca Juga: KMSB Sebut Kinerja Al Muktabar Cukup Baik

Yang mereka lakukan, pertama dengan memotong kacang menjadi irisan tipis dan mengeringkannya di bawah sinar matahari. Kemudian merendamnya dalam air tawar selama tiga bulan, kemudian memeras airnya dan mengeringkannya di bawah sinar matahari sekali lagi.

Makanan-makanan tersebut tentunya bukan merupakan makanan yang lezat, sehingga mereka pun tidak pernah menggunakannya selain pada saat kelangkaan makanan. Biasanya mereka mencampurkan masakan tersebut dengan nasi.

Kota mereka, yang mereka sebut Samadang, terdiri dari sekitar 400 rumah, meski sebagian besar kota tua itu rusak. Rumah mereka semuanya dibangun di atas pilar setinggi empat atau lima kaki di atas tanah.

Gendang, adalah seorang pria yang tampaknya menjadi raja kaya dan berpengaruh di sini. Dia memberikan gambaran tentang semuanya. Rumahnya dikelilingi dinding yang terbuat dari papan, sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali raja. Namun tidak ada bedanya dengan orang-orang kelas menengah, kecuali ukurannya yang sedikit lebih besar.

Rumah-rumah lainnya, dindingnya terbuat dari bambu yang ditempelkan pada batang-batang kecil tegak lurus yang diikatkan pada balok. Lantainya juga terbuat dari bambu, namun setiap batang kayu yang diletakkan di dekatnya selalu sejuk.

Baca Juga: Tolak Penutupan Jalan, Warga Setu Kota Tangsel Geruduk Badan Riset dan Inovasi Nasional

Jerami yang terbuat dari daun lontar tebal dan kuat, sehingga air hujan dan sinar matahari tidak dapat masuk melaluinya. Ketika kami berada di kota, hanya ada sedikit penduduk di sana. Sisanya mereka tinggal di rumah-rumah yang dibangun di sawah, karena mereka harus mengawasi tanaman untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh monyet, burung dan lain-lain.

Rumah-rumah lainya relatif lebih kecil daripada yang ada di kota. Tiang-tiang penopangnya juga tidak terlalu tinggi. Mereka memperlakukan kami dengan sangat adil dalam segala kesempatan. Namun seperti orang India, mereka selalu bertanya dua kali tentang apa yang akan mereka ambil dan untuk apa pun yang harus mereka jual.

Namun hal ini tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi kami, karena kami sudah terbiasa dengan transaksi seperti ini. Dalam melakukan tawar menawar, mereka sangat terampil dan cukup mampu memenuhi kebutuhan uang dalam jumlah kecil.

Mereka mengumpulkan sejumlah barang apa saja, dan ketika harga sudah disepakati, mereka akan membaginya satu sama lain sesuai dengan proporsi yang mereka bawa. Bahasa mereka berbeda dengan bahasa Melayu dan Jawa, namun mereka semua berbicara bahasa Melayu.

Yang saya sebut bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan di Samarang. Saya telah diberitahu bahwa ada beberapa bahasa lain di pulau ini. Namun saya tidak punya kesempatan untuk mengumpulkan kata-kata dari bahasa-bahasa tersebut, karena saya tidak bertemu dengan seorang pun yang bisa menjelaskan tentang bahasa tersebut.

Penduduk pulau ini menyebut bahasa mereka Catta Gunung, yaitu bahasa pegunungan dan mengatakan bahwa bahasa tersebut digunakan di pegunungan Jawa, tempat asal mula suku mereka.

Awal mula mereka ke sini, dimulai dari Teluk Baru (New Bay) yang hanya beberapa mil jauhnya, dan dari sana ke Princes Island (Pulau Panaitan), mereka terpaksa berlayar ke pulau ini karena didorong rasa takutnya oleh banyaknya serangan harimau di tempat awal mereka.***

Editor: Rukman Nurhalim Mamora


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah