Sampai akhirnya pemberian premi untuk penangkapan atau membunuh harimau tersebut dihentikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1897 Nomor 111.
Baca Juga: Kembangkan UMKM, Pmekot Tangerang Teken Kerjasama dengan Kota Yantai
Namun ketakutan masih terus menyelimuti masyarakat wilayah lainnya, sehingga relokasi secara massal pun tak dapat dihindari. Kewedanaan Cibaliung dan Bagian Selatan Kewedanaan Panimbang pun menjadi benar-benar kosong dari penduduk.
Ketakutan mereka sesungguhnya diselimuti oleh sebuah kepercayaan bahwa harimau yang tengah merajalela tersebut adalah maung kajajaden atau harimau jadi-jadian dari para leluhurnya. Pada awalnya masyarakat berusaha untuk menenangkan roh-roh para leluhur yang marah itu dengan mempersembahkan berbagai sesaji dan merapalkan mantra-mantra.
Namun ketika harimau tersebut menyerang manusia, kuda, atau kerbau, maka masyarakat pun memutuskan untuk memasang berbagai jenis perangkap, seperti weleng, pigasol, pigebug, biraluk, burang, cara dan pitangkeb.***