Kisah di Balik Meletusnya Gunung Krakatau Tahun 1883, Pesta Sang Bupati Caringin pun Hancur Lebur

18 April 2024, 18:55 WIB
Ilustrasi meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda. /Tangkap layar IG @boimbaelah/

Trust Banten - Dahsyatnya letusan Gunung Krakatau dan kisah yang menyertainya menarik untuk diikuti. Seperti cerita pesta para petinggi daerah yang berakhir tragis dihantam gelombang tinggi akibat letusan gunung itu. Cerita disampaikan Ny Dewi Sukaesih (Etin) Mangkudilaga kepada Paramita R Abudrachman seperti diposting IG @boimbaelah.

Selama berminggu-minggu suasana kemeriahan dan kegembiraan sangat terasa di Kabupaten Caringin. Di kediaman Bupati RT Djajanegara, putra sulung atau mendiang RAA Aria Karta Natanegara (yang pernah menjadi Bupati Lebak).

Di rumahnya sedang dilangsungkan pesta perayaan. Para kerabat dari Cianjur, Bogor, Empang, Jasinga, Tangerang, Serang, Lebak dan daerah lainnya sudah berdatangan. Begitu pula para pejabat Belanda, dan pejabat lokal yang bertugas di Kabupaten Caringin.

Baca Juga: Proliga Auto Meriah! Inilah Profil Dua Bidadari Voli Indonesia yang Kabarnya Gabung Jakarta Livin Mandiri

Mereka diterima oleh bupati, istri dan para pelayannya. Para tamu ini dilayani para pelayan dan ditempatkan di ruangan-ruangan paviliun yang banyak terdapat di daerah ini sebagai tempat atau menginap para tamunya yang dilayani dengan penuh keramahtamahan.

Para tamu penting disambut dengan penabuh gamelan munggang, kesenian tertua yaitu sebuah ansambel gamelan, yang terdiri dari tiga gong dengan nada berbeda, kemudian dikomposisikan dengan instrumen perkusi lainnya, khususnya bonang.

Gamelan ini pernah menjadi kesenian kesukaan para penguasa di Jawa. Kesenian ini dikenal di Jawa Barat sejak abad ke-12. Suaranya sangat megah, oleh karena itu dianggap sakral dan karenanya hanya boleh didengar oleh para tamu dengan pangkat tinggi dan tamu-tamu penting. Gamelan ini tidak diiringi lagu.

Baca Juga: Tim Voli Putri Amerika Serikat Rilis Skuad Untuk VNL 2024, Ada Mantan Pemain Gresik Petrokimia

Pada malam harinya diadakanlah tayuban di pendopo utama atau dimana gamelan berada, dengan irama yang dimainkan berbeda melibatkan para penari ronggeng. Kian malam, suasana semakin meriah. Anak-anak dan kaum perempuan akhirnya mengundurkan diri, tinggal para laki-laki yang tertahan di tempat tersebut untuk ikut menari dengan para penari ronggeng tersebut.

Di bagian belakang pendopo, api dapur masih menyala berhari-hari, sementara para staf di dapur sibuk menyiapkan masakan untuk para tamu. Bahan masakan telah didatangkan dari Labuhan dan Caringin seperti beras, unggas dan daging didatangkan dari pedesaan di sekitar Caringin.

Semua bahan masakan didapatkan dari hasil panen tanah milik bupati, atau sumbangan penduduk, pejabat dan para petani. Acara perayaan ini untuk memeriahkan pesta pernikahan putri RT Djajanegara, Bupati Caringin.

Baca Juga: KMSB Sebut Kinerja Al Muktabar Cukup Baik

Gadis itu bernama Den Titi (Den adalah kependekan dari gelar Raden, dan Titi biasanya merupakan singkatan dari nama yang berakhiran Ti, atau disingkat menjadi Titi). Tidak diketahui siapa nama mempelai laki-lakinya.

Perayaan lainnya adalah khitanan putranya yang bernama Hassan, anak sulung dari adik bupati, R Natanegara yang menikah dengan Ratu Bayi, putri RAA Prairakusumah, yang dikenal sebagai Dalam Barang.

R Natanegara pada waktu itu menjabat sebagai asisten wedana (tempatnya tidak diketahui) dan ia beserta istrinya tidak dapat menghadiri pesta ini, karena sedang menunggu kelahiran bayinya. Tetapi putra sulungnya itu kemudian diketahui selamat dalam bencana ini dan ditemukan dalam keadaan baik.

Perpaduan antara pesta pernikahan dan khitanan yang dirayakan secara bersamaan ini sempat terekam dalam syair sebuah kakawihan (lirik yang dinyanyikan dalam musik tertentu, untuk menyampaikan pesan dan aturan perilaku).

Baca Juga: Tolak Penutupan Jalan, Warga Setu Kota Tangsel Geruduk Badan Riset dan Inovasi Nasional

Perayaan tersebut dilaksanakan sebelum tanggal 26 Agustus 1883, hari Minggu dan pada Sabtu malam, sementara pesta tayuban berlangsung hingga dini hari. Oleh karena itu di hari Minggu pagi, banyak para tamu yang kemungkinan besar adalah rekan-rekan bupati dan pejabat Belanda dari Serang dan tempat lain, untuk pamit dan kembali ke rumahnya masing-masing.

Namun ada sejumlah kerabat dan pejabat lainnya tetap tinggal. Ketika gunung berapi tersebut meletus pada sore hari, di hari yang sama, dan gelombang pasang melanda pantai, maka tidak ada yang selamat, tidak ada yang tersisa dari suasana pesta tersebut.

Kebanggaan mempelai laki-laki akhirnya harus tergantikan oleh rasa duka, karena harus kehilangan nyawa mereka di hantam ombak. Begitu pula dengan Hassan kecil, paman dan bibinya serta banyak kerabat lainnya.

Ketika kabar ini sampai ke telinga orang tua Hassan, mereka sangat sedih karena harus kehilangan anak laki-laki, saudara laki-laki dan banyak sanak saudaranya. Tetapi mereka juga pasti mengalami hal yang sama, bersyukur karena pada tanggal 27 Agustus akhirnya lahir seorang anak laki-laki yang kemudian diketahui bernama Nataprawira, ayah dari Nona Dewi Sukaesih (anak sulung dari delapan bersaudara) yang kemudian menjadi Ny Achmad Mangkudilaga.

Baca Juga: Diajang Google Cloud Next '24, OPPO Perkenalkan Model Google Gemini pada Smartphone AI

Sebagai pengingat akan bencana di Banten ini, maka munculah aturan dan kepercayaan baru yang ditetapkan bahwa dalam kakawihan, untuk tidak menggabungkan pernikahan dan khitanan. Tradisi ini dilarang dihidupkan kembali dan hal ini harus ditaati dengan ketat sejak saat itu. Karena jika itu dilanggar, maka dipercaya akan menimbulkan bencana besar.

Cerita lain datang dari Haji Mas Achmad Mangkudilaga. Haji Tasiun adalah kerabat jauh dari Bupati Djajanegara, yang berasal dari Jasinga. Pada tahun 1883 ia masih tinggal bersama istri dan putranya, berumur dua atau tiga tahun di Maribaya, Jasinga untuk memulai karirnya.

Terkait dengan Bupati Caringin, beliau adalah salah satu undangan pernikahan dan khitanan tersebut. Dia bersama istri dan anak kecilnya, Suhaedi, akhirnya meninggalkan rumah mereka untuk menghadiri hajat (perayaan) tersebut dengan harapan, akan dapat bertemu kerabat dan teman-temannya.

Pak Tasiun pada saat menceritakan ini mungkin belum berangkat haji, oleh karena itu dia berniat untuk ikut pesta dalam malam tayuban bersama istrinya sebagai kebiasaan keluarganya. Tapi rencana tersebut terganggu, karena anaknya yang kecil, Suhaedi, entah kenapa selalu menangis tak henti-hentinya selama 24 jam.

Baca Juga: Kecamatan Terluas di Pandeglang Ternyata Bukan Penghasil Aren Terbesar, Juaranya Justru...

Pak Tasiun dan istrinya panik, putus asa dan malu. Akhirnya untuk menghentikan tangis anaknya, mereka meninggalkan anaknya sendirian di kamar, karena ditakutkan mengganggu pesta yang sedang berlangsung di pendopo.

Ibunya ikut bergabung dengan ibu-ibu lainnya di dapur, dari dapur hanya terdengar alunan gamelan yang mengalun dari kejauhan. Setelah sekian lama, akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan perayaan tersebut, dan meminta maaf untuk pulang.

Mereka menempuh perjalanan cukup jauh karena harus pulang melalui Pandeglang, Lebak untuk menuju Jasinga. Ketika mereka sudah setengah jalan, terdengarlah suara ledakan dan gemuruh yang mengerikan, disertai angin kencang yang bertiup. Tetapi karena mereka sudah berada di luar zona bahaya, mereka tidak terpengaruh.

Mereka tetap meneruskan perjalanannya menuju Jasinga. Apakah Suhaedi dilahirkan dengan indra keenam? Karena tangisan anak kecil itu segera berhenti saat mereka telah meninggalkan Caringin.

Setelah tiba dirumahnya, barulah kemudian terdengar kabar bahwa tempat pesta yang dipenuhi banyak orang itu telah menjadi bagian dari laut, menjadi kuburan yang sunyi bagi semua korban.

Mr Tasiun atau Haji Tasiun, menjadi assistant wedana di Batuceper (Tangerang), dimana dia bertemu Mr Mangkudilaga dan menceritakan peristiwa ini sekitar tahun 1924. Haji Tasiun meninggal tahun 1930 dalam usia 75 tahun.***

Editor: Rukman Nurhalim Mamora

Tags

Terkini

Terpopuler