Pasca Letusan Gunung Krakatau Tahun 1883, Harimau Mengganas dan Bunuh 60 Warga di Kabupaten Caringin

25 April 2024, 10:43 WIB
Ilustrasi harimau yang mengganas pasca Gunung Krakatau meletus. /Tangkap layar IG @boim baelah /

Trust Banten - Pada tahun 1885, setelah 10.000 orang menjadi korban letusan Gunung (dari total 36 ribu orang tewas secara keseluruhan), dua tahun berikutnya masyarakat Kabupaten Caringin (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pandeglang) kembali harus menderita dengan merebaknya kasus wabah harimau (tiger plaque). Saat itu tercatat hampir 60 warga tewas karena serangan harimau ini.

Berdasarkan catatan kaki Nomor 1 pada buku Hoema's, Hoemablokken En Boschreer Ves In De Residentie Bantam, JF Kools mengatakan, pada sekitar tahun 1885 sedikitnya 50 hingga 60 orang terbunuh oleh harimau di wilayah Caringin.

Sulit untuk menarasikan bagaimana keadaan Kabupaten Caringin di masa lalu pasca letusan Gunung Krakatau 1883, sementara puing-puing yang menandakan keberadaan kabupaten ini tidak tersisa, selepas gelombang tsunami akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang menghancurkan dan memporakporandakan semua sarana dan prasarana bangunan di Kabupaten Caringin.

Baca Juga: Bank Banten Respon Positif Rebound Saham (BEKS) Sesi Perdagangan di BEI

Sesungguhnya, kerusakan hutan dan habitat harimau di wilayah Caringin bukan saja disebabkan karena dampak dari sapuan gelombang tsunami dan abu vulkanik letusan Gunung Krakatau 1883. Jauh sebelum Gunung Krakatau memuntahkan laharnya pada tahun 1883, masyarakat Caringin telah secara turun temurun menjalankan sistem pertanian dengan pola tebang dan bakar atau sistem berladang yang berpindah-pindah.

Pola bertani seperti itu tentu akan memaksa harimau memasuki pemukiman penduduk, menerkam dan memangsa penduduk, karena habitatnya telah dirusak penduduk untuk dijadikan lahan perladangan.
Penyerangan terhadap penduduk oleh harimau itu dikenal dengan istilah Tijger Plaque atau wabah harimau.

Selanjutnya Budi Gustaman dalam artikelnya berjudul Binatang-Binatang di Sekitar Letusan Krakatau 1883 menulis, "Sebagian besar kasus pemangsaan penduduk oleh harimau di Banten terjadi di wilayah Kabupaten Caringin."

Baca Juga: Makin Serius Nyalon Bupati, Uday Suhada Silaturahmi ke DPC PPP Pandeglang

Dia mencatat, Kewedanaan Pasirsalak merupakan wilayah yang penduduknya paling banyak diterkam harimau. Sedangkan penduduk Kewedanaan Bojongkoneng dan Panimbang meninggalkan pemukimannya karena gangguan harimau.

Akibat wabah harimau tersebut Residen Banten kemudian menetapkan Kabupaten Caringin sebagai wilayah berstatus darurat, karena para pegawai pemerintah tidak berani mengunjungi wilayah Kabupaten Caringin.

Pemerintah Hindia Belanda pun kemudian mendorong penduduk Caringin untuk berpindah ke wilayah yang aman dari serangan harimau, sekaligus menghendaki agar penduduk mengubah kebiasaannya bertani, dari cara berladang menjadi cara bersawah. Bahkan di wilayah ini diberlakukan premi atau bonus khusus bagi penduduk yang bisa menangkap atau membunuh harimau.

Baca Juga: Reno11 F 5G Dilengkapi FItur AI Eraser Serta Smart Image Matting

Almanak Prijai dari Taon 1899 Kaloewaran Taon Jang Katiga, halaman 72, F. WiggerAlmanak Prijai dari Taon 1899 Kaloewaran Taon Jang Katiga, halaman 72, F. Wiggers menulis tentang Premie Membinasakan Binatang Boewas.

"Staatsblad 1862 Nomor 84 ada premie boewat memboenoeh matjan ia-itoe: boewat matjan gembong (matjan loreng) / 30 - saekor, boewat matjan toetoel dan koembang / 10 saekor, boewat menangkap boewaja dan ambil telor boewaja tiada dibrihken oepahan lagi," tulis almanak itu.

Pada Staatsblad yang jauh lebih tua, yaitu Staatsblad 1852 Nomor 22, pemerintah Hindia Belanda hanya memberikan hadiah sebesar f.22 (22 gulden) untuk setiap satu ekor harimau yang berhasil ditangkap atau dibunuh.

Adapun premi penangkapan dan pembunuhan satwa liar berdasarkan Staatsblad Tahun 1862 Nomor 84 adalah sebagai berikut: Harimau bergaris'loreng (berukuran besar), harimau gitam (macan tutul/macan kumbang) sebesar 30 gulden, buaya (panjang 6 kaki atau lebih) sebesar 20 gulden, buaya (panjangnya kurang dari 6 kaki sebesar 1 gulden dan telur buaya sebesar 10 sen.

Baca Juga: Tertarik Jadi Anggota PPK Pilkada Kota Tangerang, Cek Persyaratannya Disini

Khusus untuk Kabupaten Caringin, menyusul ditetapkannya Kabupaten Caringin sebagai wilayah berstatus keadaan darurat oleh Residen Banten, maka pada tahun 1887, premi meningkat dari f 100 menjadi f 200 untuk satu ekor harimau besar.

Kebijakan Residen Banten tersebut telah memikat para pemburu untuk membersihkan wilayah Caringin dari gangguan harimau, sehingga menghasilkan lebih banyak harimau yang mati, yakni 17 ekor pada tahun 1888, 35 ekor pada tahun 1889, dan 1 ekor pada tahun 1890.

Sampai akhirnya pemberian premi untuk penangkapan atau membunuh harimau tersebut dihentikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui Staatsblad van Nederlandsch Indie Tahun 1897 Nomor 111.

Baca Juga: Kembangkan UMKM, Pmekot Tangerang Teken Kerjasama dengan Kota Yantai

Namun ketakutan masih terus menyelimuti masyarakat wilayah lainnya, sehingga relokasi secara massal pun tak dapat dihindari. Kewedanaan Cibaliung dan Bagian Selatan Kewedanaan Panimbang pun menjadi benar-benar kosong dari penduduk.

Ketakutan mereka sesungguhnya diselimuti oleh sebuah kepercayaan bahwa harimau yang tengah merajalela tersebut adalah maung kajajaden atau harimau jadi-jadian dari para leluhurnya. Pada awalnya masyarakat berusaha untuk menenangkan roh-roh para leluhur yang marah itu dengan mempersembahkan berbagai sesaji dan merapalkan mantra-mantra.

Namun ketika harimau tersebut menyerang manusia, kuda, atau kerbau, maka masyarakat pun memutuskan untuk memasang berbagai jenis perangkap, seperti weleng, pigasol, pigebug, biraluk, burang, cara dan pitangkeb.***

Editor: Rukman Nurhalim Mamora

Tags

Terkini

Terpopuler