Kisah di Balik Meletusnya Gunung Krakatau Tahun 1883, Pesta Sang Bupati Caringin pun Hancur Lebur

- 18 April 2024, 18:55 WIB
Ilustrasi meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda.
Ilustrasi meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda. /Tangkap layar IG @boimbaelah/

Ketika kabar ini sampai ke telinga orang tua Hassan, mereka sangat sedih karena harus kehilangan anak laki-laki, saudara laki-laki dan banyak sanak saudaranya. Tetapi mereka juga pasti mengalami hal yang sama, bersyukur karena pada tanggal 27 Agustus akhirnya lahir seorang anak laki-laki yang kemudian diketahui bernama Nataprawira, ayah dari Nona Dewi Sukaesih (anak sulung dari delapan bersaudara) yang kemudian menjadi Ny Achmad Mangkudilaga.

Baca Juga: Diajang Google Cloud Next '24, OPPO Perkenalkan Model Google Gemini pada Smartphone AI

Sebagai pengingat akan bencana di Banten ini, maka munculah aturan dan kepercayaan baru yang ditetapkan bahwa dalam kakawihan, untuk tidak menggabungkan pernikahan dan khitanan. Tradisi ini dilarang dihidupkan kembali dan hal ini harus ditaati dengan ketat sejak saat itu. Karena jika itu dilanggar, maka dipercaya akan menimbulkan bencana besar.

Cerita lain datang dari Haji Mas Achmad Mangkudilaga. Haji Tasiun adalah kerabat jauh dari Bupati Djajanegara, yang berasal dari Jasinga. Pada tahun 1883 ia masih tinggal bersama istri dan putranya, berumur dua atau tiga tahun di Maribaya, Jasinga untuk memulai karirnya.

Terkait dengan Bupati Caringin, beliau adalah salah satu undangan pernikahan dan khitanan tersebut. Dia bersama istri dan anak kecilnya, Suhaedi, akhirnya meninggalkan rumah mereka untuk menghadiri hajat (perayaan) tersebut dengan harapan, akan dapat bertemu kerabat dan teman-temannya.

Pak Tasiun pada saat menceritakan ini mungkin belum berangkat haji, oleh karena itu dia berniat untuk ikut pesta dalam malam tayuban bersama istrinya sebagai kebiasaan keluarganya. Tapi rencana tersebut terganggu, karena anaknya yang kecil, Suhaedi, entah kenapa selalu menangis tak henti-hentinya selama 24 jam.

Baca Juga: Kecamatan Terluas di Pandeglang Ternyata Bukan Penghasil Aren Terbesar, Juaranya Justru...

Pak Tasiun dan istrinya panik, putus asa dan malu. Akhirnya untuk menghentikan tangis anaknya, mereka meninggalkan anaknya sendirian di kamar, karena ditakutkan mengganggu pesta yang sedang berlangsung di pendopo.

Ibunya ikut bergabung dengan ibu-ibu lainnya di dapur, dari dapur hanya terdengar alunan gamelan yang mengalun dari kejauhan. Setelah sekian lama, akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan perayaan tersebut, dan meminta maaf untuk pulang.

Mereka menempuh perjalanan cukup jauh karena harus pulang melalui Pandeglang, Lebak untuk menuju Jasinga. Ketika mereka sudah setengah jalan, terdengarlah suara ledakan dan gemuruh yang mengerikan, disertai angin kencang yang bertiup. Tetapi karena mereka sudah berada di luar zona bahaya, mereka tidak terpengaruh.

Mereka tetap meneruskan perjalanannya menuju Jasinga. Apakah Suhaedi dilahirkan dengan indra keenam? Karena tangisan anak kecil itu segera berhenti saat mereka telah meninggalkan Caringin.

Halaman:

Editor: Rukman Nurhalim Mamora


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah