Kisah di Balik Meletusnya Gunung Krakatau Tahun 1883, Pesta Sang Bupati Caringin pun Hancur Lebur

- 18 April 2024, 18:55 WIB
Ilustrasi meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda.
Ilustrasi meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda. /Tangkap layar IG @boimbaelah/

Di bagian belakang pendopo, api dapur masih menyala berhari-hari, sementara para staf di dapur sibuk menyiapkan masakan untuk para tamu. Bahan masakan telah didatangkan dari Labuhan dan Caringin seperti beras, unggas dan daging didatangkan dari pedesaan di sekitar Caringin.

Semua bahan masakan didapatkan dari hasil panen tanah milik bupati, atau sumbangan penduduk, pejabat dan para petani. Acara perayaan ini untuk memeriahkan pesta pernikahan putri RT Djajanegara, Bupati Caringin.

Baca Juga: KMSB Sebut Kinerja Al Muktabar Cukup Baik

Gadis itu bernama Den Titi (Den adalah kependekan dari gelar Raden, dan Titi biasanya merupakan singkatan dari nama yang berakhiran Ti, atau disingkat menjadi Titi). Tidak diketahui siapa nama mempelai laki-lakinya.

Perayaan lainnya adalah khitanan putranya yang bernama Hassan, anak sulung dari adik bupati, R Natanegara yang menikah dengan Ratu Bayi, putri RAA Prairakusumah, yang dikenal sebagai Dalam Barang.

R Natanegara pada waktu itu menjabat sebagai asisten wedana (tempatnya tidak diketahui) dan ia beserta istrinya tidak dapat menghadiri pesta ini, karena sedang menunggu kelahiran bayinya. Tetapi putra sulungnya itu kemudian diketahui selamat dalam bencana ini dan ditemukan dalam keadaan baik.

Perpaduan antara pesta pernikahan dan khitanan yang dirayakan secara bersamaan ini sempat terekam dalam syair sebuah kakawihan (lirik yang dinyanyikan dalam musik tertentu, untuk menyampaikan pesan dan aturan perilaku).

Baca Juga: Tolak Penutupan Jalan, Warga Setu Kota Tangsel Geruduk Badan Riset dan Inovasi Nasional

Perayaan tersebut dilaksanakan sebelum tanggal 26 Agustus 1883, hari Minggu dan pada Sabtu malam, sementara pesta tayuban berlangsung hingga dini hari. Oleh karena itu di hari Minggu pagi, banyak para tamu yang kemungkinan besar adalah rekan-rekan bupati dan pejabat Belanda dari Serang dan tempat lain, untuk pamit dan kembali ke rumahnya masing-masing.

Namun ada sejumlah kerabat dan pejabat lainnya tetap tinggal. Ketika gunung berapi tersebut meletus pada sore hari, di hari yang sama, dan gelombang pasang melanda pantai, maka tidak ada yang selamat, tidak ada yang tersisa dari suasana pesta tersebut.

Kebanggaan mempelai laki-laki akhirnya harus tergantikan oleh rasa duka, karena harus kehilangan nyawa mereka di hantam ombak. Begitu pula dengan Hassan kecil, paman dan bibinya serta banyak kerabat lainnya.

Halaman:

Editor: Rukman Nurhalim Mamora


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah